Kamis, 24 November 2016

Diary Singkat Hitam Putih

  Seorang pemuda dengan latar belakang kehidupan yang hitam legam bak malam tanpa bulan ataupun bintang. Sebagian besar, bahkan seluruh kehidupannya ia habiskan sebagai seorang pecandu minuman keras yang sering ia sebut tuak komplit, yaitu arak muda dengan bahan dasar satu-satunya yang terbuat dari campuran air nira siwalan, la’ang, anggur, dan beras kencur. Den Ihya namanya. Kebiasaan buruk itu seakan menjadi teman akrabnya. Kedua orang tuanya berusaha semaksimal mungkin untuk bisa merubah tingkah laku buruknya, namun rasa takut dan cemas seringkali menghantui kedua orangtuanya, terutama sang Bapak. Kadang kata-kata mutiara yang sering diungkapakan oleh sang Bapak masih terngiang dipikirannya, tentang nilai kehidupan ataupun pedoman. Sang Bapak mencoba memperbaiki porak poranda kehidupannya dengan mengirimkannya ke pondok pesantren. Waktu itu sang Bapak mengkonsultasikan masalah yang tengah diderita Den Ihya kepada seorang Kiyai. “Pak Kiai, Den Ihya adalah anak kami satu-satunya.” Itulah kata yang pertama kali diucapkan oleh sang Bapak di depan orang karismatik yang berpakaian serba putih. Sedikit demi sedikit, meluncurlah kisah kelamnya dari mulut Sang Bapak. Gemetar suaranya menyayat hati Den Ihya, pilu dan ngilu. Tak luput dari penuturannya pula, tentang Den Ihya yang suka mabuk-mabukan dengan ramuan la'ang di pedalaman Kangean.
            Hari pun berlanjut ketika dirinya telah menjadi bagian dari pondok pesantren yang terkenal sangat disiplin dan tegas tersebut. Awal mula ketika ia menginjakkan kaki di pesantren tersebut, ia hanya bisa diam terpaku menerima kehidupan pondok pesantren yang penuh aturan, jika dibandingkan dengan kebebasannya ketika berada dilingkungan rumah. Mu’allim, itulah sebutan bagi para guru ataupun pengurus dipondok tersebut. Beberapa mu’alim melakukan tugas rutinnya, yaitu membangunkan para santri untuk melaksanakan shalat tahajud, tak luput pula dengan Den Ihya. Namun gejolak hatinya seakan tak mau reda, merasakan hidup terkekang seperti burung dalam sangkar. Bahkan seorang Mu’allim pun sampai harus menghadapinya dengan rasa emosi dan sempat terjadi bersitegang diantara para Mu’allim dan Den Ihya, walaupun akhirnya dia tak juga beranjak dan tak mau menuruti perintah sang Mu’allim.
            Saat itu, sekejap badan ia tersentak merasakan deru gelombang jiwanya yang binal, serta rasa panas yang menghinggapi tubuhnya. Badannya pun ambruk digelaran tikar sembari menarik selimut untuk persembunyian tubuhnya. Rasa panas dan dingin tak henti-hentinya meneror tubuhnya. Dalam tidurnya ia mengigau dan meronta meminta “minuman”, hal itupun membuat para teman sekaligus Mu’allim yang saat itu berada di rayonnya merasa bingung, sampai salah satu dari Mu’allim menanyakan kepadanya tentang “minuman” itu, namun terus saja ia meracau meminta “minuman” itu.
            Hari-hari dipondok berlanjut ketika rasa terkucil dan rasa dipandang sebelah mata mengusik jiwanya. Semua teman yang ada dirayonnya seakan takut dan tak menerima kehadirannya karena tingkah laku aneh dan buruk yang ia tampakkan, walaupun ia adalah seorang santri baru di ponpes tersebut. Rasa itulah yang semakin membuatnya keras dan seakan tak peduli pada semua orang yang berada disekitarnya. Bahkan karena ulahnya yang tak mau menaati aturan itu pun sering mengundang kemarahan sang Ustadz, tak jarang pukulan hendak didaratkan dipipinya. Namun sekali lagi ia mencoba menggertak dan mengancam sang Ustadz. Dari sekian banyak teman yang membencinya, ada beberapa teman yang bisa mengerti keadaannya dan mau menerima kehadirannya. Ipul, adalah teman sekamar Den Ihya. Ketika Den Ihys tengah menghadapi teror candu minuman tuak itu, dengan sabar dan penuh perhatiannya Ipul mengantarnya kekamar dan menganjurkannya untuk beristirahat. Berbeda dengan teman lainnya yang selalu mengolok – olok dan menentang kehadirannya di pesantren tersebut.
            Berbagai masalah dihadapinya, salah satunya ketika ia mendapatkan tugas menjadi bulis ( petugas penjaga keamanan rayon).

Tidak ada komentar: