Kamis, 31 Agustus 2017

Duka Rohingya

"Untuk Saudara seagamaku Rohingya"

Ketika mawar menonjolkan duri-durinya
Ketika kelapa menonjolkan batoknya yang keras
Merpati pun berhamburan, 
bumi berdarah-darah

Rohingya Rohingya Rohingya

Pantai terbakar, bumi bergetar, anak-anakterlantar
Laut menjadi juru selamat,
meski ombaknya sering tak ramah
Ketika hidup berbeda jadi bencana
Ketika keyakinan menumpahkan darah
Iblis tertawa, topeng mulia jatuh ke tanah

Rohingya Rohingya Rohingya

Kelapa-kelapa berhamburan di laut dan terdampar
Terulang kisah manusia  perahu di masa silam
Ketika kebersihan hati menjadi simbol-simbol
Ketika kesederhaan hanya untuk bertanam angin
Badai ‘kan datang, kata damai terikat di moncong senjata

Rohingya Rohingya Rohingya

Tuhan tengah mencoba, iblis boleh tertawa,
engkau boleh jumawa
Rumput-rumput hidup pasti ada yang menanam dan menjaganya!

Sabtu, 18 Maret 2017

Yang Aku Yakini, Kamu Adalah Bagian Terindah dari Masa Lalu dan Masa Depan

Masih jelas tergambar di ingatan, saat kita kali pertama bertemu. Kamu menyapaku dengan segaris senyum hangat di kala itu. Sungguh, itu pertemuan yang paling tak aku duga sebelumnya. Pertemuan yang kemudian membawaku pada sebuah angan cinta yang seketika kamu bantu wujudkan setelahnya. Aku ingat, aku pernah berdoa kepada Tuhan agar ini bisa berlangsung selamanya. Masa-masa saat aku dan kamu selalu berdua, menuliskan banyak pengalaman yang akhirnya hanya menjadi kenangan.


Iya, karena memang kita dilahirkan dengan banyak perbedaan yang tak bisa kita tangani. Perbedaan yang akhirnya bisa memisahkan. Setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap bertahan meskipun hanya berakhir dengan kesia-siaan. Memilukan, dan kini aku sendiri lagi tanpa kamu yang biasa menemani. Aku sadar, kita tak akan bisa kembali. Tapi bolehkah aku menempatkanmu sebagai bagian terindah dari masa laluku? Iya, bagian terindah yang terbalut pilu dan luka.

Berkatmu, aku merasakan momen terindah dalam masa laluku

Jika aku boleh mengatakan sesuatu, aku hanya akan mengucapkan terimakasih kepadamu. terimakasih karena sudah hadir dalam hidupku. Terimakasih sudah membuatku tertawa, bahagia, menangis dan merasakan cinta. Terimakasih sudah menggoreskan momen-momen indah yang kini hanya menjadi kenangan. Memang, sakit rasanya ketika kita berpisah, bahkan aku tak yakin aku bisa benar-benar menyembuhkan diri. Tapi ini berbeda, meskipun sakit rasanya, entah kenapa aku juga bahagia.

Karena bagiku, kamu adalah bagian penting. Bagian yang pernah hadir meskipun kemudian pergi. Kamu adalah bagian yang menemaniku disaat momen-momen terbaik. Momen yang bahkan hingga kini terlalu indah untuk dilupakan. Terimakasih karena berkatmu aku bisa merasakan masa terindah dalam masa laluku, meskipun setelahnya harus merasakan pilu.

Ketika kamu menggenggam tanganku, aku merasa bahwa kamu tak akan pernah melepaskan

Percayalah, hingga kini aku masih bisa merasakan bagaimana kuatnya saat jemarimu menggenggam erat tanganku. Seperti kamu tak ingin aku kemana-mana. Bagaikan tak ingin aku pergi jauh dari sampingmu. Aku masih merasakannya hingga kini, bahkan hangatnya tanganmu aku juga masih ingat betul. Apa aku gila? Mungkin saja karena akupun tak yakin. Aku hanya meyakini bahwa, genggamanmu adalah genggaman paling membahagiakan dari masa laluku. Tentu saja setelah genggaman tangan orang tuaku saat menuntunku belajar berjalan ataupun sekedar untuk meredakan kecemasan.

Tapi ternyata itu hanya perasaanku saja. Nyatanya kini kamu baik-baik saja meskipun tanpa menggenggam tanganku. Tak apa, aku disini juga baik-baik saja. Aku hanya sedang mengingatmu sebagai bagian penting dalam hidupku. Bagian yang telah memberiku banyak pelajaran berharga yang tak boleh dilupa begitu saja.

Nyaman yang kamu berikan, sungguh tak tergantikan

Aku tau, kenyamanan tak bisa dibeli oleh apapun. Kenyamanan adalah sebuah perasaan yang kadang tak bisa dijelaskan dengan kata dan ucapan. Kenyamanan hanya bisa dirasakan, hanya bisa dinikmati sebelum akhirnya pergi. Mungkin itulah kamu bagiku. Berada disebelahmu, menyandarkan kepala di pundakmu, bercerita tentang kerasnya kehidupan yang telah aku lalui seharian membuatku merasakan tenang. Ketenangan yang teramat dalam.

Kenyamanan dan ketulusan yang kamu berikan kepadaku adalah kado terindah yang pernah aku terima darimu. Sungguh, apalagi dengan cinta yang engkau tunjukkan setiap hari. Jangan heran kalau hingga kini aku masih mengingat semua dengan jelas. Mengingat perasaan nyaman dan bahagia meskipun berakhir dengan luka.

Meskipun akhirnya kandas, aku tetap menghargai “kita” yang pernah berjuang keras

Bahkan caramu mendekatiku saja sudah aku hitung sebagai perjuangan. Meskipun akhirnya kita harus kalah dan mengalah pada sebuah perbedaan, aku tetap yakin perjuangan yang telah kamu lakukan untukku dan untuk kita benar-benar tulus dari hati. Entah itu perjuangan dalam bentuk nyata ataupun tidak, aku sungguh melihat ketulusan. Tapi, masihkan rasa tulus itu ada dalam hatimu?

Aku menghargaimu sebagai seseorang yang pernah mencoba memperjuangkan aku, sebagai seseorang yang bahkan rela berkorban waktu hanya untuk membahagiakanku. Sekali lagi terimakasih. Apa yang telah kamu lakukan sungguh tak bisa aku lupakan.

Aku tak percaya sekarang aku menyebutmu sebagai mantan. Mantan yang telah memberiku bahagia meskipun diakhiri dengan luka menganga. Luka pilu yang tak akan pernah hilang meskipun telah menjadi masa lalu. Meskipun begitu, percayalah kamu adalah bagian terindah dari masa laluku yang pilu, aku yakin itu

Jumat, 17 Maret 2017

Maaf ibu, hanya setangkai mawar yang bisa aku berikan atas segala perjuanganmu



Pagi itu, seorang pria tampak turun dari mobil mewahnya. Ia bermaksud untuk membeli sebuah kade di kompleks pertokoan itu. Besok adalah hari ibu, dan ia bermaksud untuk membeli lalu mengirimkan sebuah hadiah lewat pos untuk ibunya dikampung. Seorang Ibu yang pernah ia tinggal pergi beberapa tahun lalu untuk kuliah, mencari nafkah, dan mengejar kesuksesan dikota besar ini. Langkah-langkah pria itu terhenti di depan sebuah toko bunga. Ia melihat seorang gadis cantik. Ternyata gadis itu adalah adik tingkatnya semasa kuliah dulu. Gadis itu terlihat sedang memandangi lesu rangkaian bunga-bunga indah di etalase. Matanya terlihat dengan jelas tengah berkaca-kaca, air matanya hendak meleleh seperti hendak menangis.

Setelah cerita-cerita lalu dilantunkan, pria itu lalu bertanya, "Ada apa denganmu? Ada apa dengan bunga-bunga itu?"

"Aku ingin memberi salah satu rangkaian bunga mawar ini untuk ibu saya" gadis itu melanjuntukan, "Seumur hidup saya belum pernah memberikan bunga seindah ini untuk ibu."


"Kenapa tidak kau beli saja? Ini bagus kok." Cerita pria tersebut sambil turut memandangi salah satu rangkaian bunga dimaksud wanita itu.

"Uangnya tidak cukup."

"Ya sudah, pilih saja salah satu, aku yang akan membayarnya." Pria itu menawarkan diri sambil tersenyum.

Akhirnya gadis itu mengambil salah satu karangan bunga. Dengan ditemani sang pria, gadis itu lalu menuju kasir. Pria itu juga menawarkan diri mengantar si gadis pulang ke rumah untuk memberikan bunga itu kepada ibunya. Gadis itu pun bersedia.

Dua orang itu lalu melaju menggunakan mobil menuju ke sebuah tempat yang ditunjukkan si gadis. Hati pria itu terperanjat ketika gadis cantik itu ternyata mengajaknya ke sebuah kompleks pemakaman umum.

Setelah memarkir mobil, pria itu lalu mengikuti langkah-langkah si gadis. Dengan sangat terharu gadis itu lalu meletakkan karangan bunga itu ke makam ibunya. Seorang ibu yang memang belum pernah dilihat gadis itu seumur hidupnya, karena ia meninggal pasca melahirkan gadis tersebut.

Melihat kejadian itu, setelah mengantarkan gadis itu pulang ke rumah, sang pria membatalkan niatnya untuk membeli dan mengirimkan kado bagi ibunya.

Siang itu juga, pemuda itu langsung tancap gas menuju kampung halamannya untuk melihat wajah ibu yang ia rindukan selama ini untukk bersujud dibawah kakinya dan memeluk erat tubuh dan hati lembutnya.Pagi itu, seorang pria tampak turun dari mobil mewahnya. Ia bermaksud untuk membeli sebuah kade di kompleks pertokoan itu. Besok adalah hari ibu, dan ia bermaksud untuk membeli lalu mengirimkan sebuah hadiah lewat pos untuk ibunya dikampung. Seorang Ibu yang pernah ia tinggal pergi beberapa tahun lalu untuk kuliah, mencari nafkah, dan mengejar kesuksesan dikota besar ini. Langkah-langkah pria itu terhenti di depan sebuah toko bunga. Ia melihat seorang gadis cantik. Ternyata gadis itu adalah adik tingkatnya semasa kuliah dulu. Gadis itu terlihat sedang memandangi lesu rangkaian bunga-bunga indah di etalase. Matanya terlihat dengan jelas tengah berkaca-kaca, air matanya hendak meleleh seperti hendak menangis.

Setelah cerita-cerita lalu dilantunkan, pria itu lalu bertanya, "Ada apa denganmu? Ada apa dengan bunga-bunga itu?"

"Aku ingin memberi salah satu rangkaian bunga mawar ini untuk ibu saya" gadis itu melanjuntukan, "Seumur hidup saya belum pernah memberikan bunga seindah ini untuk ibu."


"Kenapa tidak kau beli saja? Ini bagus kok." Cerita pria tersebut sambil turut memandangi salah satu rangkaian bunga dimaksud wanita itu.

"Uangnya tidak cukup."

"Ya sudah, pilih saja salah satu, aku yang akan membayarnya." Pria itu menawarkan diri sambil tersenyum.

Akhirnya gadis itu mengambil salah satu karangan bunga. Dengan ditemani sang pria, gadis itu lalu menuju kasir. Pria itu juga menawarkan diri mengantar si gadis pulang ke rumah untuk memberikan bunga itu kepada ibunya. Gadis itu pun bersedia.

Dua orang itu lalu melaju menggunakan mobil menuju ke sebuah tempat yang ditunjukkan si gadis. Hati pria itu terperanjat ketika gadis cantik itu ternyata mengajaknya ke sebuah kompleks pemakaman umum.

Setelah memarkir mobil, pria itu lalu mengikuti langkah-langkah si gadis. Dengan sangat terharu gadis itu lalu meletakkan karangan bunga itu ke makam ibunya. Seorang ibu yang memang belum pernah dilihat gadis itu seumur hidupnya, karena ia meninggal pasca melahirkan gadis tersebut.

Melihat kejadian itu, setelah mengantarkan gadis itu pulang ke rumah, sang pria membatalkan niatnya untuk membeli dan mengirimkan kado bagi ibunya.

Siang itu juga, pemuda itu langsung tancap gas menuju kampung halamannya untuk melihat wajah ibu yang ia rindukan selama ini untukk bersujud dibawah kakinya dan memeluk erat tubuh dan hati lembutnya.

Rabu, 25 Januari 2017

Cerpen "Musyafir Cinta"

Seulas senyum senja, membentang memenuhi hamparan cakrawala, dercak-dercak jingganya menebar merata menghiasi angkasa raya. Salah satu lukisan ilahi yang mempesona. Ihya yang sudah 4 Tahun Nyantri di Brebes tersenyum penuh suka cita, hatinya riang gembira, tak henti hentinya iya memandang kota cirebon, tanah kelahirannya. ’’sebentar lagi’’ pikirnya ketika mini bus yang ditumpanginya singgah di terminal kota Cirebon. Tiada yang membuatnya lebih bahagia dari pada liburan dan pulang ke kampung halaman.
Akhirnya Setelah salam salaman sama orang tua, saudara-saudara, semua famili di rumah, dan tak lupa ia juga mampir menyapa tetangga dekatnya, ihya yang memang bertampang lumayan kece itu melepas penatnya di taman belakang rumah yang penuh dengan tanaman hias.

‘’assalamualaikum’’ sebuah suara menengahi kesendiriannya, suara yang tak asing di telinga ihya walau ia telah lama meninggalkan kampungnya. Ia menoleh.

‘’Waalaikum salam.. hai Mam! Gimana, wah tambah gemuk aja nich....’’ sahutnya seraya memberikan tempat pada teman lamanya itu untuk turut bersantai menikmati tanaman hiasnya. Obrolan ringan karena kerinduan pun mulai mengalir di antara keduanya..

‘’ea Ihya, entar malem ada pengajian nich, tempatnya di rumah H. Syakur, seberang jalan tuh!... "sela Imam sembari menunjuk rumah di pinggir jalan raya yang di bentangi dengan pagar besar bak istana kerajaan.

"Ea... insya allah’’ jawab ihya datar.

‘’pokoknya kamu harus datang, ok! Udah ya, assalamualaikum’’ imam berpamitan.

‘’Waalaikum salam” jawabnya. Ihya tersenyum simpul memandang sahabatnya lenggak lenggok berlalu. Biasa “jemblong” tuh!.

Acara tasyakuran di rumah H. syakur tampak meriah. Semua tamu yang mayoritas wong kopyahan atau jilbaban tampak bersuka cita, terhanyut oleh lantunan nasyid annabawiyah. Tak ketinggalan Ihya tampak bersahaja dengan setelan baju takwa putih yang juga berbaur bersama. Bibirnya tiada henti bersholawat seiring lagu, sementara penglihatannya mulai menyapa seluruh isi ruang yang penuh orang. Mereka adalah keluaga islami yang memancarkan cahaya keimanan dan berkah dari setiap sisi dinding rumahnya. Lafadz agung Allah, gambar orang orang yang berjasa di masanya seperti para wali, kyai besar dan juga bapak presiden Abdurrahman Wahid terhias di sepanjang dinding.

Namun diam diam Ihya menemukan sebentuk bidadari di penghujung tatapannya. Sebelum acara selesai, Ihya sempat berkenalan dengan seorang dara jelita itu, wajahnya yang ayu dibalut jilbab dan sepasang mata bak permata yang tidak pernah di temui oleh penyelam di sepanjang samudra membuatnya tersihir oleh rasa pesona. “Fityatun Amanah”, begitu iya menyebutkan nama. Ihya tidak dapat berkata, ia mencoba menahan gemuruh lubuk hati yang kian membahana dan mulai meneruskan perkenalan. “ Ihya Ulumuddin”.
Pipit hanya menundukan kepala, cahaya aura Ihya telah memenjarakan hatinya. Tanpa sadar ada getaran yang menyala di sudut hatinya. Walau pada pandangan pertama kedua, detak hati insan ini tak bisa berdusta, bara asmara telah menyala dan berkobar menerangi istana atas nama cinta. Tak ada kata terucap, hanya isyarat kerlingan mata yang syahdu memenuhi waktu mereka, sampai acara selesai.
Waktu tak pernah berhenti menelan ruang kisah manusia. Ihya dan Pipit, walaupun hanya merangkai bayangan syahdu, mereka bahagia dan tidak lelah merajut siang dengan syair-syair indah membingkai malam dengan lagu-lagu rindu.

“duhai Khusni, bantulah hamba yang lemah ini”

“emang ada apa?” Khusni tampak mengerutkan kening, wajah sobatnya pucat.

“kamu sakit?” sambungnya lagi.

“karena sakit ini aku menemukan kenikmatan yang tiada tara, suatu kelezatan yang terilham dari syurga.” . mimik muka Ihya serius, khusni hanya melongo heran.

“kenapa nih anak,” pikirnya dalam hati.

“tolong serahkan surat ini pada Fityatun Amanah” tangan Ihya gemetar menyerahkan surat pada khusni.

“Oh,.. ini ta masalahnya, kirain ada apa. Ok deh !”

“sampaikan salamku padanya”, suara Ihya kian serak ada titik linang tertahan di pelupuknya. Setelah khusni berlalu, Ihya tak mampu menahan air mata, ia menangis karena bahagia, sepatah sayapnya telah di bawa oleh khusni tuk di persembahkan pada sang kekasih.

“Pit, ini dari Ihya, dia juga nitip salam buat kamu” khusni menyerahkan sepucuk surat pada Pipit dan langsung pamit pulang.

Teruntuk adinda Fityatun Amanah

Duhai sepasang sayap rinduku.
Ketika siul camar mendenting.
Dawai-dawai asmara. Seisi alam teriak cemburu.
Saat ku rengkuh lukisan indah senyumu.

Duhai belahan sanubari.
Saat waktu mulai menghapus kisahku.
Kutemukan bias rinduku untukmu.
Hingga tak henti alam mimpiku.
Mengukir percik percik kilau auramu

Duhai separuh nafasku.
Hesrat hati merangkai kisah mempesona.
Bersama sang adinda, menelusuri indahnya taman nirwana.
Harap hati bingkai asa ini tak terlalu maya tuk jadi nyata

Maukah dinda merajut serat-serat rindu bersama musafir cinta ini?.

Makhluk lemah, Ihya Ulumuddin.

Brak!!, Pipit tak sadarkan diri, panah-panah rindu telah menusuk dan merobek-robek pikiran jernihnya. Setelah sadar, dengan langkah lunglai ia mengambil wudhu, lalu shalat dua rakaat. Dalam doa ia menangis sejadi jadinya “ Robby,.. engkau maha mengerti walau hanya sebisik hati, haruskah diri menghabiskan sisa akhir nafas hidupku, hanya terpaku merindu, membiarkan diri lupa akan kehangatan kasih-Mu. Robby... segarkanlah gersang lubuk dengan tetesan agung rahmatmu, sungguh nirwana cinta telah menghabiskan waktu tuk bercumbu bersama-Mu. amiin..” Sekali lagi Pipit pingsan, mukenanya basah oleh air mata yang menghiasi cawan cintanya yang telah mengekang detak jantungnya.

Di ufuk timur nan jauh di sana, sang fajar masih tersenyum elok menghiasi tebing-tebing cakrawala bersama lelehan air mata, Pipit menulis balasan surat pada Ihya. Segala rasa, segala cinta , segala duka ia tumpahkan pada secarik kertas di hadapanya. Setelah selesai ia mencium beberapa kali sebelum di titipkan pada khusni.

“Yaa Robby.... selamatkanlah dia sampai tujuan, karena dia membawa separuh nafasku. Amiin...” ratap Pipit pada relung hatinya.

Buat insan yang ku puja Atas nama
cinta...
Yang telah mengukir prasasti-prasasti suci.
Di retak dan dinding sanubari.
Hanya seulas senyum sang kekasih dinanti.
Ketika beratus kali angan tersuruk-suruk
Menelusuri dimensi dengan segenggam sunyi.

Duhai musafir cinta
Di setiap langkahmu ku dengar.
Dentingan syair-syair rindu yang tulus.
Berirama bersama alunan lagu.
Yang menyatukan cinta dan rindu.

Wahai pelipur laraku.
Di saksikan siraman sang purnama.
Mari kita meneguk rasa di cawan cinta.
Tuk mengikrarkan satu kata cinta Semoga perjalanan kita nanti di ridhoi Allah sang maha adidaya.
Amiin... Perindumu.

Di iringi derai air mata, ia bersujud syukur, syukur atas panah cintanya yang terarah. Tepuk cintanya tak sebelah. “Yaa Ilahi, Dzat yang Maha mengetahui segala detak-detak hati hamba. Bukan maksud hamba memadumu, diri tak punya daya tuk berpaling dari lukisan syurga yang engkau ilhami.”

Ihya hanya bisa mengadu pada sang Rabb-Nya. Tak mungkin ia menemui sang kekasih untuk mengobati sakit rindu, karena syariat melarangnya. Memang tidak ada kata toleransi dalam agama islam tuk memperbolehkan pacaran.

Tak terasa 14 hari terlewati antara Ihya dan Pipit memadu kasih, merangkai rindu hanya melewati tarian pena, namun mereka tetap bahagia merajut kasih di “alam maya”. Seharian Ihya nampak gelisah, karena besok sudah harus balik ke Pondok, dalam hatinya ada dua sisi yang berkecambuk, “antara cita-cita atau pesona cinta”. Tak ada jawaban atas pertanyaan hatinya. Hari rabu tanggal 24 R. Awal, Ia memutuskan balik tepat waktu ke Pondok. Yach...! demi tholabul ilmi, Ia bungkus cintanya dengan harapan yang mulia, demi syiar agama ia kekang gumuruh jiwanya dengan tasbih dan istighfar. Demi cita-cita suci ia bingkai rindunya dengan dzikir dan sholawat.
Sebelum berangkat, Ihya menemui khusni yang telah membawa rindunya pada Pipit.

“Selamat jalan saudaraku, insya Allah dengan mendekatkan diri pada sang khalik engkau mampu meredam nafsu cintamu” ucap khusni lirih, mereka tak mampu menahan air mata dalam rangkulan dua sahabat fillah. Khusni sekarang menuju rumah Pipit, surat terakhir dari Ihya ia pegang erat-erat, ada perasaan iba dan bangga pada perjalanan cinta kedua insan ini.

Buat habibah fillah

Habibi....
bersamamu hati menemukan kasih syahdu.
Barsamamu angan merasakan hangatnya rindu.
Bersamamu asa merangkai serat-serat rasa.
Bersamamu jiwa membingkai kasih mempesona.

Kasihku....
Selama angin musim semi menggoyangkan helai-helai cendan.
Tak kan henti denyut nadiku merajut indah di hela aksara namamu.
Demi semua penghuni semesta.
selama hempas semilir senja, Tak lelah melambaikan janur kelapa.
Menghabiskan waktu merangkuh rindu.

Sekarang yach... sekarang... Mungkin kita harus meregangkan rindu ataupun cinta yang menggebu.
Demi cinta demi masa depan yang bercahaya.
Insya allah kita akan sebenderang purnama
Kasihmu
Ihya Ulumuddin

“Selamat jalan pangeranku, semoga kita menemukan sisa-sisa percik rahmatnya. Insya Allah sampai kapanpun aku akan menunggumu wahai pujaanku”. Dengan cucuran air mata Pipit mengecup lembut surat terakhir dari Ihya."