Seulas senyum senja, membentang memenuhi hamparan cakrawala, dercak-dercak jingganya menebar merata menghiasi angkasa raya. Salah satu lukisan ilahi yang mempesona. Ihya yang sudah 4 Tahun Nyantri di Brebes tersenyum penuh suka cita, hatinya riang gembira, tak henti hentinya iya memandang kota cirebon, tanah kelahirannya. ’’sebentar lagi’’ pikirnya ketika mini bus yang ditumpanginya singgah di terminal kota Cirebon. Tiada yang membuatnya lebih bahagia dari pada liburan dan pulang ke kampung halaman.
Akhirnya Setelah salam salaman sama orang tua, saudara-saudara, semua famili di rumah, dan tak lupa ia juga mampir menyapa tetangga dekatnya, ihya yang memang bertampang lumayan kece itu melepas penatnya di taman belakang rumah yang penuh dengan tanaman hias.
‘’assalamualaikum’’ sebuah suara menengahi kesendiriannya, suara yang tak asing di telinga ihya walau ia telah lama meninggalkan kampungnya. Ia menoleh.
‘’Waalaikum salam.. hai Mam! Gimana, wah tambah gemuk aja nich....’’ sahutnya seraya memberikan tempat pada teman lamanya itu untuk turut bersantai menikmati tanaman hiasnya. Obrolan ringan karena kerinduan pun mulai mengalir di antara keduanya..
‘’ea Ihya, entar malem ada pengajian nich, tempatnya di rumah H. Syakur, seberang jalan tuh!... "sela Imam sembari menunjuk rumah di pinggir jalan raya yang di bentangi dengan pagar besar bak istana kerajaan.
"Ea... insya allah’’ jawab ihya datar.
‘’pokoknya kamu harus datang, ok! Udah ya, assalamualaikum’’ imam berpamitan.
‘’Waalaikum salam” jawabnya. Ihya tersenyum simpul memandang sahabatnya lenggak lenggok berlalu. Biasa “jemblong” tuh!.
Acara tasyakuran di rumah H. syakur tampak meriah. Semua tamu yang mayoritas wong kopyahan atau jilbaban tampak bersuka cita, terhanyut oleh lantunan nasyid annabawiyah. Tak ketinggalan Ihya tampak bersahaja dengan setelan baju takwa putih yang juga berbaur bersama. Bibirnya tiada henti bersholawat seiring lagu, sementara penglihatannya mulai menyapa seluruh isi ruang yang penuh orang. Mereka adalah keluaga islami yang memancarkan cahaya keimanan dan berkah dari setiap sisi dinding rumahnya. Lafadz agung Allah, gambar orang orang yang berjasa di masanya seperti para wali, kyai besar dan juga bapak presiden Abdurrahman Wahid terhias di sepanjang dinding.
Namun diam diam Ihya menemukan sebentuk bidadari di penghujung tatapannya. Sebelum acara selesai, Ihya sempat berkenalan dengan seorang dara jelita itu, wajahnya yang ayu dibalut jilbab dan sepasang mata bak permata yang tidak pernah di temui oleh penyelam di sepanjang samudra membuatnya tersihir oleh rasa pesona. “Fityatun Amanah”, begitu iya menyebutkan nama. Ihya tidak dapat berkata, ia mencoba menahan gemuruh lubuk hati yang kian membahana dan mulai meneruskan perkenalan. “ Ihya Ulumuddin”.
Pipit hanya menundukan kepala, cahaya aura Ihya telah memenjarakan hatinya. Tanpa sadar ada getaran yang menyala di sudut hatinya. Walau pada pandangan pertama kedua, detak hati insan ini tak bisa berdusta, bara asmara telah menyala dan berkobar menerangi istana atas nama cinta. Tak ada kata terucap, hanya isyarat kerlingan mata yang syahdu memenuhi waktu mereka, sampai acara selesai.
Waktu tak pernah berhenti menelan ruang kisah manusia. Ihya dan Pipit, walaupun hanya merangkai bayangan syahdu, mereka bahagia dan tidak lelah merajut siang dengan syair-syair indah membingkai malam dengan lagu-lagu rindu.
“duhai Khusni, bantulah hamba yang lemah ini”
“emang ada apa?” Khusni tampak mengerutkan kening, wajah sobatnya pucat.
“kamu sakit?” sambungnya lagi.
“karena sakit ini aku menemukan kenikmatan yang tiada tara, suatu kelezatan yang terilham dari syurga.” . mimik muka Ihya serius, khusni hanya melongo heran.
“kenapa nih anak,” pikirnya dalam hati.
“tolong serahkan surat ini pada Fityatun Amanah” tangan Ihya gemetar menyerahkan surat pada khusni.
“Oh,.. ini ta masalahnya, kirain ada apa. Ok deh !”
“sampaikan salamku padanya”, suara Ihya kian serak ada titik linang tertahan di pelupuknya. Setelah khusni berlalu, Ihya tak mampu menahan air mata, ia menangis karena bahagia, sepatah sayapnya telah di bawa oleh khusni tuk di persembahkan pada sang kekasih.
“Pit, ini dari Ihya, dia juga nitip salam buat kamu” khusni menyerahkan sepucuk surat pada Pipit dan langsung pamit pulang.
Teruntuk adinda Fityatun Amanah
Duhai sepasang sayap rinduku.
Ketika siul camar mendenting.
Dawai-dawai asmara. Seisi alam teriak cemburu.
Saat ku rengkuh lukisan indah senyumu.
Duhai belahan sanubari.
Saat waktu mulai menghapus kisahku.
Kutemukan bias rinduku untukmu.
Hingga tak henti alam mimpiku.
Mengukir percik percik kilau auramu
Duhai separuh nafasku.
Hesrat hati merangkai kisah mempesona.
Bersama sang adinda, menelusuri indahnya taman nirwana.
Harap hati bingkai asa ini tak terlalu maya tuk jadi nyata
Maukah dinda merajut serat-serat rindu bersama musafir cinta ini?.
Makhluk lemah, Ihya Ulumuddin.
Brak!!, Pipit tak sadarkan diri, panah-panah rindu telah menusuk dan merobek-robek pikiran jernihnya. Setelah sadar, dengan langkah lunglai ia mengambil wudhu, lalu shalat dua rakaat. Dalam doa ia menangis sejadi jadinya “ Robby,.. engkau maha mengerti walau hanya sebisik hati, haruskah diri menghabiskan sisa akhir nafas hidupku, hanya terpaku merindu, membiarkan diri lupa akan kehangatan kasih-Mu. Robby... segarkanlah gersang lubuk dengan tetesan agung rahmatmu, sungguh nirwana cinta telah menghabiskan waktu tuk bercumbu bersama-Mu. amiin..” Sekali lagi Pipit pingsan, mukenanya basah oleh air mata yang menghiasi cawan cintanya yang telah mengekang detak jantungnya.
Di ufuk timur nan jauh di sana, sang fajar masih tersenyum elok menghiasi tebing-tebing cakrawala bersama lelehan air mata, Pipit menulis balasan surat pada Ihya. Segala rasa, segala cinta , segala duka ia tumpahkan pada secarik kertas di hadapanya. Setelah selesai ia mencium beberapa kali sebelum di titipkan pada khusni.
“Yaa Robby.... selamatkanlah dia sampai tujuan, karena dia membawa separuh nafasku. Amiin...” ratap Pipit pada relung hatinya.
Buat insan yang ku puja Atas nama
cinta...
Yang telah mengukir prasasti-prasasti suci.
Di retak dan dinding sanubari.
Hanya seulas senyum sang kekasih dinanti.
Ketika beratus kali angan tersuruk-suruk
Menelusuri dimensi dengan segenggam sunyi.
Duhai musafir cinta
Di setiap langkahmu ku dengar.
Dentingan syair-syair rindu yang tulus.
Berirama bersama alunan lagu.
Yang menyatukan cinta dan rindu.
Wahai pelipur laraku.
Di saksikan siraman sang purnama.
Mari kita meneguk rasa di cawan cinta.
Tuk mengikrarkan satu kata cinta Semoga perjalanan kita nanti di ridhoi Allah sang maha adidaya.
Amiin... Perindumu.
Di iringi derai air mata, ia bersujud syukur, syukur atas panah cintanya yang terarah. Tepuk cintanya tak sebelah. “Yaa Ilahi, Dzat yang Maha mengetahui segala detak-detak hati hamba. Bukan maksud hamba memadumu, diri tak punya daya tuk berpaling dari lukisan syurga yang engkau ilhami.”
Ihya hanya bisa mengadu pada sang Rabb-Nya. Tak mungkin ia menemui sang kekasih untuk mengobati sakit rindu, karena syariat melarangnya. Memang tidak ada kata toleransi dalam agama islam tuk memperbolehkan pacaran.
Tak terasa 14 hari terlewati antara Ihya dan Pipit memadu kasih, merangkai rindu hanya melewati tarian pena, namun mereka tetap bahagia merajut kasih di “alam maya”. Seharian Ihya nampak gelisah, karena besok sudah harus balik ke Pondok, dalam hatinya ada dua sisi yang berkecambuk, “antara cita-cita atau pesona cinta”. Tak ada jawaban atas pertanyaan hatinya. Hari rabu tanggal 24 R. Awal, Ia memutuskan balik tepat waktu ke Pondok. Yach...! demi tholabul ilmi, Ia bungkus cintanya dengan harapan yang mulia, demi syiar agama ia kekang gumuruh jiwanya dengan tasbih dan istighfar. Demi cita-cita suci ia bingkai rindunya dengan dzikir dan sholawat.
Sebelum berangkat, Ihya menemui khusni yang telah membawa rindunya pada Pipit.
“Selamat jalan saudaraku, insya Allah dengan mendekatkan diri pada sang khalik engkau mampu meredam nafsu cintamu” ucap khusni lirih, mereka tak mampu menahan air mata dalam rangkulan dua sahabat fillah. Khusni sekarang menuju rumah Pipit, surat terakhir dari Ihya ia pegang erat-erat, ada perasaan iba dan bangga pada perjalanan cinta kedua insan ini.
Buat habibah fillah
Habibi....
bersamamu hati menemukan kasih syahdu.
Barsamamu angan merasakan hangatnya rindu.
Bersamamu asa merangkai serat-serat rasa.
Bersamamu jiwa membingkai kasih mempesona.
Kasihku....
Selama angin musim semi menggoyangkan helai-helai cendan.
Tak kan henti denyut nadiku merajut indah di hela aksara namamu.
Demi semua penghuni semesta.
selama hempas semilir senja, Tak lelah melambaikan janur kelapa.
Menghabiskan waktu merangkuh rindu.
Sekarang yach... sekarang... Mungkin kita harus meregangkan rindu ataupun cinta yang menggebu.
Demi cinta demi masa depan yang bercahaya.
Insya allah kita akan sebenderang purnama
Kasihmu
Ihya Ulumuddin
“Selamat jalan pangeranku, semoga kita menemukan sisa-sisa percik rahmatnya. Insya Allah sampai kapanpun aku akan menunggumu wahai pujaanku”. Dengan cucuran air mata Pipit mengecup lembut surat terakhir dari Ihya."